Ini sebenarnya kado untuk diriku sendiri yang saat itu berusia 22, semuanya benar-benar terasa sangat cepat. Perasaan baru kemarin aku berlarian mengelilingi kampungku, saling melempar bola, bermain petak umpet, lompat tali, hingga masak-masakan, diakhiri membawa mukena serta sajadah menuju langgar dan berjamaah disana. Masa itu masih segar dalam ingatan, dimana aku belum dipusingkan dengan aljabar, apalagi trigonometri, masalah terberat mungkin adalah menghitung luas lingkaran yang harus melibatkan nilai phi. Lucu rasanya, ternyata hampir sebagian besar hidupku, kuhabiskan untuk main-main.
Tapi mungkin, memang tak sebercanda itu, kala aku harus menghadapi patah hati terbesarku. Ditolak oleh kampus impian jalur SNMPTN. Mungkin itu awal mula aku meragukan diri sendiri, karena bayangan terberatnya adalah aku mungkin tidak akan mampu diterima SBMPTN, but I proved it wrong to myself. Aku lolos SBMPTN dan diterima di jurusan yang aku inginkan, namun memang mengakhiri semua itu sesulit mendapatkannya hahaha.
Seiring kelulusan yang akan menjadi targetku selanjutnya, aku seringkali berbicara pada diri sendiri, tentang langkah apa yang nantinya akan kuambil, seperti buku fiksi yang pernah aku baca, "Setelah lulus, lalu apa? Setelah kerja, lalu apa? Setelah nikah, lalu apa?" Kurang lebih begitu bunyinya yang dipisah menjadi tiga judul yang berbeda.
Bak puan yang sedang kebingungan mencari pegangan, tak ada lagi yang menuntun karena dianggap sudah cukup umur. Untungnya, aku seorang gadis —yang berharap dirinya masih kecil— yang percaya akan keberadaan Tuhan. Jujur, segala kebimbangan tentang dewasa, menjadi dewasa, dan pendewasaan ini hanya bisa aku serahkan pada Tuhan, mengenai apa yang belum aku ketahui saat ini, menyangkut hal yang aku impikan hadir namun masih semu dan tak dapat dirasakan hadirnya. Aku selalu percaya bahwa Tuhan sebaik-baik perencana dan aku hanya bertugas menjalankan peranku dengan baik.
Pun tentang dewasa yang aku tanyakan, bahkan aku jadikan judul tulisan ini, hingga detik aku merampungkan tulisan inipun aku masih belum tau pasti definisinya. Tapi, inilah pandanganku tentang dewasa, yang katanya memuakkan, menyenangkan, dan penuh dengan kejutan. Tentang aku yang mungkin belum terlalu akrab dengan Tuhan, namun berusaha tidak lupa. Singkatnya begini pandanganku tentang si -dewasa-
Dewasa untukku adalah bertanggungjawab, sesederhana mampu bertanggungjawab atas diri sendiri. Jika melihat aku yang dulu, yang masih pusing menghitung luas lingkaran itu, sudah jelas aku masih harus bergantung pada orang tuaku, mengamit erat sayap sayap mereka agar aku tak terjatuh. Ya, walaupun kadang aku ingin terbang berlainan arah, tapi si gadis —belum dewasa— itu tidak punya kendali atas arahnya, kakinya belum terlalu kuat untuk berpijak, pun sayapnya tak sanggup mengepak.
Lalu setelah 22, sudahkah ia menjadi dewasa? Ternyata memang dewasa tidak ditentukan dengan umur. Belum juga ia mampu menggantikan peran orangtuanya, ia mungkin sanggup melangkah dengan kakinya, namun sayapnya masih belum sempurna untuk mengangkat kedua orangtuanya terbang bersama. Sekali lagi, ini hanya akan membahas tentang dewasa.
Dewasa yang kedua, ternyata bentuk tanggung jawab itu tidak hanya untuk diri sendiri. Bahagia bagi yang dewasa ternyata hanya dengan melihat orang-orang disekitarnya bahagia. Apakah si gadis 22 ini sudah membawa bahagia bagi sekitarnya? Oh, sisi lain otak yang sedang sibuk meracau itu berteriak dengan tegas, "Masih ada waktu, kalau belum bisa membahagiakan sekarang, tidak apa, asal jangan menjadi beban yang menyusahkan."
Bicara soal beban, apakah si orang tua merasa terbebani dengan anak gadisnya ini? Mungkin saja ada hari berat dan pandangan itu terlintas, namun tak mungkin ada yang mengalahkan cinta orang tua pada anaknya, kan? Bantu saja si gadis 22 itu untuk membuat dirinya sadar, mimpi yang ingin dia gapai itu tidak hanya mimpi dirinya seorang. Ada harapan orang tua yang tak sempat diwujudkan anak pertama, ada gurauan tetangga yang akan dibebankan pada pundaknya, ada kebanggaan orang tua yang harus dipertahankan.
Hilang arah, jangan. Teruslah melangkah hingga kakimu cukup kuat, menerabas lebatnya semak belukar. Lihatlah keatas dan tirulah mereka yang telah mengepakan sayap ke nirwana. Tak boleh berhenti, tak ada yang menghendaki kamu berhenti.
Dewasa yang ketiga, bukan sekedar mampu menjalani tapi juga tentang keikhlasan yang membantu untuk terus berjalan. Tidak semua pelakon memainkan peran yang diharapkannya. Ada sutradara yang mengarahkan hidup, ada penulis yang telah menentukan akhir, tugas pelakon hanya satu bermain sebaik mungkin pada perannya meskipun itu benar-benar sebuah peran yang tidak sudi dimainkan.
Seiring jalan yang masih menyingsing panjang diarah depan, akan selalu ada peluang dan kisah-kisah tentang "Dewasa, itu apa?" lainnya. Selain berjuang, berbakti, dan menerima.
Sampai jumpa, di versi apa itu dewasa lainnya. Saat kakimu cukup tangguh untuk melompat dan mengepakkan sayap. Saat sayapmu berhasil membawa orang disekitarmu terbang mengelilingi dunia. Saat kamu tahu, dimana seharusnya kamu terbang dan bertengger, saat semuanya terasa pas pada tempatnya. Saat semuanya baik-baik saja, bahkan lebih baik dari biasanya, atau bahkan dari yang seharusnya.
Seiring kelulusan yang akan menjadi targetku selanjutnya, aku seringkali berbicara pada diri sendiri, tentang langkah apa yang nantinya akan kuambil, seperti buku fiksi yang pernah aku baca, "Setelah lulus, lalu apa? Setelah kerja, lalu apa? Setelah nikah, lalu apa?" Kurang lebih begitu bunyinya yang dipisah menjadi tiga judul yang berbeda.
Bak puan yang sedang kebingungan mencari pegangan, tak ada lagi yang menuntun karena dianggap sudah cukup umur. Untungnya, aku seorang gadis —yang berharap dirinya masih kecil— yang percaya akan keberadaan Tuhan. Jujur, segala kebimbangan tentang dewasa, menjadi dewasa, dan pendewasaan ini hanya bisa aku serahkan pada Tuhan, mengenai apa yang belum aku ketahui saat ini, menyangkut hal yang aku impikan hadir namun masih semu dan tak dapat dirasakan hadirnya. Aku selalu percaya bahwa Tuhan sebaik-baik perencana dan aku hanya bertugas menjalankan peranku dengan baik.
Pun tentang dewasa yang aku tanyakan, bahkan aku jadikan judul tulisan ini, hingga detik aku merampungkan tulisan inipun aku masih belum tau pasti definisinya. Tapi, inilah pandanganku tentang dewasa, yang katanya memuakkan, menyenangkan, dan penuh dengan kejutan. Tentang aku yang mungkin belum terlalu akrab dengan Tuhan, namun berusaha tidak lupa. Singkatnya begini pandanganku tentang si -dewasa-
Dewasa untukku adalah bertanggungjawab, sesederhana mampu bertanggungjawab atas diri sendiri. Jika melihat aku yang dulu, yang masih pusing menghitung luas lingkaran itu, sudah jelas aku masih harus bergantung pada orang tuaku, mengamit erat sayap sayap mereka agar aku tak terjatuh. Ya, walaupun kadang aku ingin terbang berlainan arah, tapi si gadis —belum dewasa— itu tidak punya kendali atas arahnya, kakinya belum terlalu kuat untuk berpijak, pun sayapnya tak sanggup mengepak.
Lalu setelah 22, sudahkah ia menjadi dewasa? Ternyata memang dewasa tidak ditentukan dengan umur. Belum juga ia mampu menggantikan peran orangtuanya, ia mungkin sanggup melangkah dengan kakinya, namun sayapnya masih belum sempurna untuk mengangkat kedua orangtuanya terbang bersama. Sekali lagi, ini hanya akan membahas tentang dewasa.
Dewasa yang kedua, ternyata bentuk tanggung jawab itu tidak hanya untuk diri sendiri. Bahagia bagi yang dewasa ternyata hanya dengan melihat orang-orang disekitarnya bahagia. Apakah si gadis 22 ini sudah membawa bahagia bagi sekitarnya? Oh, sisi lain otak yang sedang sibuk meracau itu berteriak dengan tegas, "Masih ada waktu, kalau belum bisa membahagiakan sekarang, tidak apa, asal jangan menjadi beban yang menyusahkan."
Bicara soal beban, apakah si orang tua merasa terbebani dengan anak gadisnya ini? Mungkin saja ada hari berat dan pandangan itu terlintas, namun tak mungkin ada yang mengalahkan cinta orang tua pada anaknya, kan? Bantu saja si gadis 22 itu untuk membuat dirinya sadar, mimpi yang ingin dia gapai itu tidak hanya mimpi dirinya seorang. Ada harapan orang tua yang tak sempat diwujudkan anak pertama, ada gurauan tetangga yang akan dibebankan pada pundaknya, ada kebanggaan orang tua yang harus dipertahankan.
Hilang arah, jangan. Teruslah melangkah hingga kakimu cukup kuat, menerabas lebatnya semak belukar. Lihatlah keatas dan tirulah mereka yang telah mengepakan sayap ke nirwana. Tak boleh berhenti, tak ada yang menghendaki kamu berhenti.
Dewasa yang ketiga, bukan sekedar mampu menjalani tapi juga tentang keikhlasan yang membantu untuk terus berjalan. Tidak semua pelakon memainkan peran yang diharapkannya. Ada sutradara yang mengarahkan hidup, ada penulis yang telah menentukan akhir, tugas pelakon hanya satu bermain sebaik mungkin pada perannya meskipun itu benar-benar sebuah peran yang tidak sudi dimainkan.
Seiring jalan yang masih menyingsing panjang diarah depan, akan selalu ada peluang dan kisah-kisah tentang "Dewasa, itu apa?" lainnya. Selain berjuang, berbakti, dan menerima.
Sampai jumpa, di versi apa itu dewasa lainnya. Saat kakimu cukup tangguh untuk melompat dan mengepakkan sayap. Saat sayapmu berhasil membawa orang disekitarmu terbang mengelilingi dunia. Saat kamu tahu, dimana seharusnya kamu terbang dan bertengger, saat semuanya terasa pas pada tempatnya. Saat semuanya baik-baik saja, bahkan lebih baik dari biasanya, atau bahkan dari yang seharusnya.
Oh tapi satu pesan yang harus kamu ingat, ini dari kak Aqeesa Aninda, "Kadang kita terlalu sibuk tumbuh dewasa, sehingga kita lupa bahwa orang tua kita juga bertambah tua." Hehe, sekedar mengingatkan katanya🙏🙏